Di Balik Angka Statistik: Realitas Pilu Janda dan Seruan Aksi Global
- account_circle Alexander Joli
- calendar_month Sen, 23 Jun 2025
- visibility 315
- comment 0 komentar

Ilustrasi Gambar ini menampilkan sekelompok wanita beragam yang saling mendukung, melambangkan kekuatan, ketahanan, dan harapan.
Depok Inside | Depok, 23 Juni 2025 – Setiap tanggal 23 Juni, dunia memperingati Hari Janda Internasional. Ini bukan sekadar tanggal merah dalam kalender, melainkan sebuah seruan global untuk mengakui, menghormati, dan memberdayakan jutaan perempuan yang telah kehilangan pasangan hidup mereka. Lebih dari itu, hari ini adalah pengingat bahwa di balik kesedihan pribadi, seringkali terdapat tantangan sosial, ekonomi, dan hukum yang mendalam yang harus dihadapi oleh para janda di seluruh dunia, khususnya di tengah dinamika masyarakat modern yang kian kompleks.
Realitas Pilu di Tengah Arus Modernisasi
Di Depok, seperti di banyak kota besar lainnya, wajah para janda mungkin tidak selalu terlihat jelas dalam keramaian. Namun, di balik pintu-pintu tertutup, banyak dari mereka menghadapi perjuangan yang tak kasat mata. Kita berbicara tentang Ibu Rina (bukan nama sebenarnya), seorang janda muda dengan dua anak yang tiba-tiba harus menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal akibat kecelakaan kerja. Tanpa dukungan finansial yang memadai dari perusahaan atau jaring pengaman sosial yang kuat, ia harus banting tulang, dari berjualan daring hingga menjadi buruh harian, demi memastikan anak-anaknya tetap bisa makan dan bersekolah.
Kasus Ibu Rina hanyalah satu dari sekian banyak. Di berbagai belahan dunia, para janda dihadapkan pada marginalisasi dan diskriminasi yang mengakar. Mereka bisa kehilangan hak atas warisan yang seharusnya menjadi miliknya, terusir dari rumah, atau bahkan anak-anak mereka direbut karena tradisi yang usang atau interpretasi hukum yang bias. Kekerasan, kemiskinan ekstrem, dan isolasi sosial menjadi realitas pahit yang harus mereka jalani. Lebih jauh, di era digital ini, mereka juga rentan terhadap penipuan daring atau eksploitasi yang memanfaatkan kerentanan emosional dan finansial mereka.
Mercusuar Harapan di Hari Janda Internasional
Namun, di tengah gambaran suram ini, Hari Janda Internasional hadir sebagai mercusuar harapan. Ini adalah momentum bagi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan setiap individu untuk merenungkan kondisi para janda dan mengambil tindakan nyata. Di Depok, misalnya, upaya kolektif dapat dimulai dengan membentuk pusat advokasi dan pendampingan hukum yang lebih mudah diakses, serta program pelatihan keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja lokal agar para janda memiliki kemandirian ekonomi.
Ini adalah kesempatan untuk mendidik masyarakat tentang hak-hak janda, memerangi stigma yang seringkali menyudutkan mereka, dan memastikan bahwa tidak ada janda yang tertinggal dalam upaya pembangunan dan kemajuan. Pemberdayaan ekonomi, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas, serta perlindungan hukum yang kuat adalah kunci untuk mengangkat derajat para janda. Mereka adalah pilar keluarga dan masyarakat yang seringkali terabaikan. Dengan memberikan dukungan yang tepat, kita tidak hanya membantu para janda, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas dan kesejahteraan keluarga serta komunitas secara keseluruhan.
Sejarah di Balik Hari Peringatan Global
Penetapan tanggal 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional memiliki sejarah yang relatif baru, namun didorong oleh keprihatinan yang telah lama ada mengenai nasib para janda di seluruh dunia. Gagasan ini pertama kali dipromosikan oleh Loomba Foundation, sebuah organisasi nirlaba global yang didirikan pada tahun 1997 oleh Lord Raj Loomba dan istrinya, Veena Loomba. Lord Loomba sendiri memiliki pengalaman pribadi yang mendalam mengenai kesulitan yang dihadapi oleh seorang janda, karena ibunya menjadi janda pada usia muda di India dan menghadapi banyak tantangan.
Melalui penelitian dan kampanye advokasi mereka, Loomba Foundation berhasil menarik perhatian internasional terhadap isu-isu yang dihadapi oleh para janda, termasuk kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, dan kurangnya akses terhadap hak-hak dasar. Mereka menyoroti bahwa jutaan janda di seluruh dunia hidup dalam kondisi rentan, seringkali tanpa dukungan sosial atau hukum yang memadai.
Setelah bertahun-tahun melakukan advokasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, upaya Loomba Foundation membuahkan hasil. Pada tanggal 21 Desember 2010, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi A/RES/65/189 yang secara resmi mengakui tanggal 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional (International Widows Day).
Tanggal 23 Juni dipilih karena bertepatan dengan tanggal ketika Lord Raj Loomba kehilangan ayahnya pada tahun 1954, meninggalkan ibunya sebagai seorang janda. Penentuan tanggal ini menjadi simbolisasi pribadi yang kuat di balik advokasi global ini.
Dengan penetapan Hari Janda Internasional oleh PBB, diharapkan kesadaran global akan nasib para janda dapat meningkat, dan tindakan kolektif dapat diambil untuk mendukung mereka, melindungi hak-hak mereka, dan memberdayakan mereka untuk menjalani kehidupan yang bermartabat dan produktif.
Mari kita jadikan Hari Janda Internasional ini bukan hanya sebagai peringatan, tetapi sebagai titik tolak untuk aksi berkelanjutan, dimulai dari komunitas kita sendiri. Mari kita pastikan bahwa suara-suara yang terlupakan ini didengar, hak-hak mereka dihormati, dan martabat mereka ditegakkan. Karena dalam kemajuan setiap perempuan, terletak kemajuan seluruh umat manusia. (Red)
- Penulis: Alexander Joli
- Editor: Redaksi
- Sumber: Depok Inside