Jebakan Bahasa dalam Politik: Mengapa “Nonaktif” Bukan Solusi
- account_circle Alexander Joli
- calendar_month Sen, 1 Sep 2025
- visibility 654
- comment 0 komentar

Ilustrasi
Depok Inside | Editorial 1 September 2025 – Dalam setiap era, politik punya siasatnya sendiri. Salah satu siasat yang paling halus, namun paling berbahaya, adalah dengan memainkan bahasa. Di panggung politik Indonesia, ada satu kata yang belakangan ini kerap digunakan untuk meredam polemik: “nonaktif.” Kata ini seolah terdengar netral, sopan, dan solutif. Namun, jika kita teliti, kata ini hanyalah selubung yang menutupi masalah krusial.
Mari kita bahas: Apa sebenarnya status “nonaktif” ini?
Nonaktif vs. Diberhentikan: Beda Kata, Beda Nasib
UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak mengenal istilah “nonaktif.” Undang-undang ini tegas, hanya ada satu mekanisme bagi anggota DPR yang melanggar: pemberhentian. Terdapat dua jenis pemberhentian:
- Pemberhentian Antarwaktu (PAW), jika anggota tersebut meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan secara resmi.
- Pemberhentian, jika anggota melanggar kode etik berat, tidak hadir di paripurna, atau terjerat pidana.
Ketika seorang anggota DPR “dinonaktifkan” oleh partainya, statusnya secara hukum tidak berubah. Ia masih sah sebagai wakil rakyat, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat. Ini adalah celah yang sangat merugikan.
Mengapa Ini Merugikan Rakyat?
Jawabannya ada pada data yang tajam:
- Gaji Tetap Mengalir: Meskipun “dinonaktifkan” dari tugasnya, gaji pokok dan berbagai tunjangan seorang anggota DPR tetap mengalir dari uang pajak rakyat. Tunjangan ini tidak sedikit: tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras, semuanya masih diterima. Ini artinya, kita sebagai rakyat membiayai seorang pejabat yang sedang “cuti” dari pekerjaannya karena masalah pribadi atau hukum.
- Menghindari PAW: Status “nonaktif” adalah cara halus bagi partai untuk menghindari proses PAW yang panjang dan rumit. Dengan menonaktifkan anggotanya, partai bisa menghindari sanksi tegas dan mempertahankan “kursi” mereka, sambil berharap masalah mereda. Ini adalah tindakan yang tidak mencerminkan akuntabilitas publik.
Kasus-kasus seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir adalah contoh nyata di mana partai mengambil langkah nonaktif untuk meredam isu, sementara hak-hak finansial anggota dewan tetap aman.
Pentingnya Memahami Bahasa Politik
Narasi “nonaktif” adalah contoh bagaimana bahasa politik bisa digunakan untuk memanipulasi persepsi publik. Kita diajarkan bahwa “nonaktif” adalah solusi yang adil—sebuah hukuman ringan bagi yang bersalah. Padahal, pada kenyataannya, “nonaktif” adalah jalan keluar yang aman bagi partai dan sang pejabat, namun sangat merugikan bagi kita, rakyat pemilik kedaiban.
Kita harus menuntut lebih. Kita harus menuntut transparansi, penegakan hukum yang konsisten, dan penggunaan bahasa yang jujur sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Jangan biarkan kata-kata merampas hak kita. Karena dalam politik, bahasa adalah senjata. Dan sebagai warga negara, kita harus memastikan senjata itu digunakan untuk melindungi kita, bukan untuk menipu kita.(Red).
- Penulis: Alexander Joli
- Editor: Redaksi
- Sumber: Depok Inside